Tasyakuran Aqiqah Atas Kelahiran Bayi
Tasyakuran Aqiqah merupakan salah satu budaya/tradisi yang yang sudah dilakukan sejak lama oleh para orangtua di nusantara sebagai bentuk rasa syukur atas kelahiran anak dan menjalankan salah satu ibadah di agama Islam.
Hal pertama yang perlu diperhatikan adalah pemilihan hewan aqiqah itu sendiri, yang mana ada beberapa hewan aqiqah yang boleh dijadikan untuk melaksanakan ibadah aqiqah seperti, sapi, kambing, domba, kerbau, atau unta, dll,
dan biasanya hewan aqiqah yang paling umum digunakan oleh masyarakat kita adalah Kambing/Domba.
Ibadah aqiqah di tiap daerah terkadang memiliki perbedaan tersendiri karena hal kultur dan budaya yang melekat di lingkungannya.
Sejarahnya, tradisi aqiqah adalah warisan dari tradisi Arab pada zaman dahulu masa pra Islam yang dilaksanakan dengan cara menyembelih hewan domba pada saat bayi lahir yang kemudian darahnya dioleskan kepada kepala bayi.
Dikutip dari sebuah buku Hasan dan Husain the Untold Story karya Sayyid Hasan al-Husaini, hanya saja, beliau mengubah tata caranya hingga sesuai dengan syariat Islam.
Buraidah Radhiyallahu Anhu menuturkan, "Pada masa Jahiliyah, jika salah seorang di antara kami memiliki bayi, ia menyembelih seekor domba dan darahnya dilumurkan ke kepala si bayi. Setelah Islam datang, kami melakukan akikah dengan menyembelih seekor domba, mencukur rambut si bayi, dan melumuri kepalanya dengan za’faran" (HR Abu Dawud).
Secara umum, hewan (kambing) yang akan disembelih dalam acara akikah tidak jauh berbeda dari berkurban di hari raya idul adha. Baik dari jenis, usia hewan, tidak cacat, niat dalam penyembelihan hewan serta menyedekahkan daging (yang telah masak) ke sejumlah fakir miskin.
Munculnya perbedaan pendapat mengenai hukum akikah ini menurut Ibn Rushdi dalam karyanya berjudul Bidayatul Mujtahid adalah karena perbedaan dalam memahami hadits yang menerangkan masalah aqiqah.